
Kejadian ini gw alami pas gw SMA, sekira tahun 2009-2010. Saat itu gw masih tinggal di desa, sekarang gw sedang berada di negeri orang.
Gw sejak SMP sudah sering tidur di rumah temen main gw, itu berlanjut sampai gw tamat SMA.
Jadi pas gw SMA itu gw suka nginep di rumah temen gw, namanya Taufik. Nah, si Taufik ini punya tetangga, namanya bu Lia (sebut saja begitu)
Bu Lia ini mukanya rada serem, kalo lo pernah liat muka ibu-ibu peran antagonis di tipi, begitulah mukanya, lebih serem lagi. Auranya gelap.
Jadi, bu Lia terkenal di kampung gw sebagai salah satu dukun ilmu hitam. Sudah banyak kesaksian warga kampung yang pernah melihat dia lari keliling kampung dalam keadaan ga pake apa-apa, sebagai bentuk ritual nya.
Warga kampung ga berani negur, lo tahu sendiri, ilmu hitam itu menyasar korban nya secara diam-diam. Berani bersuara, maka siap siaplah kena guna-guna. Ada aja penyakit yang bakal di derita tanpa sebab. Itu sebabnya warga kampung diem-diem aja, takut keselamatan dirinya dan keluarganya terancam.
Bu lia ini punya anak 3, dua cowok, 1 cewe. Yg cow, kedua-duanya gila. 1 gila karena narkoba, satu lagi gila karena ketimpa lemari, mungkin kena tengkuknya, dan bikin dia jadi error.
Yang anak cewe, cakep bet. Kulitnya putih bersih, kaya keramik. Wajahnya manis, tegas, bekerja sebagai perawat di RSUD di kampung gw.
Jadi bu lia ini punya rumah tua, tempat dimana ia membesarkan anak-anaknya. Rumah itu kosong, bu lia tinggal di rumah anak perempuan nya, yang terletak persis di depan rumah tua tersebut. Dulunya bu lia sering memasung anaknya yang gila di rumah tersebut, di bagian dapur, sebelum akhirnya dibawa ke RSJ yang ada di kota provinsi.
Karena rumah itu kosong, bu lia berinisiatif menyuruh kami tidur di rumah tersebut, kalau malam.
Gw sih udah tahu kalau bu lia ini salah satu dukun ilmu hitam yang ada di kampung kami, tapi berhubung gw ga pernah punya masalah sama dia, ya kami fine fine aja.
Ya namanya anak muda, kalo malam kami suka nongkrong di warkop. Pulangnya dini hari, jam 2-3 malem. Daripada tidurnya ibu si taufik keganggu kalo kami pulang, kami akhirnya menuruti kata bu Lia, kami tidur di rumah kosong milik bu Lia, nyaris setiap malem.
Pertama kali gw masuk ke rumah tua milik bu Lia itu terasa auranya kelam. Redup, dan ada sesuatu yang aneh disana. Pas gw ke dapurnya, di dapurnya ada sebuah ruangan kecil, disitu ada alat pemasung, untuk anak cowok bu Lia yang gila.
Tapi saat itu sudah kosong, karena anaknya sudah di bawa ke RSJ yang terletak di ibukota provinsi.
Rumah itu dua lantai, lantai kedua ditutup lembaran seng, lantainya dari papan. Jadi kalo mau naik, seng nya kudu di singkirin dulu.
Malam pertama kami tidur disitu ga ada apa-apa. Malam selanjutnya juga ga ada apa-apa.
Sampai tibalah di suatu malam. Gw lupa malem apa, yang jelas sekitar jam 2-3 an dini hari.
Ketika kami baru masuk ke rumah tersebut, dan sedang membuka pintu kamar karena mau tidur, terdengar suara berisik di dapur, seperti ada benda jatuh. Kami berdua langsung berjalan menuju dapur.
Ketika tiba di dapur, gw melihat sehelai kain putih sedang melayang, terbang dan masuk ke ventilasi udara yang kecil diatas jendela. Tidak salah lagi, itu adalah kain mbak kunti. Ternyata ia sedang membongkar lemari saat kami pulang.
Karena ia tidak memperkirakan kepulangan kami yang mendadak, mbak kunti yang sedang membuka lemari pun kaget akan kedatangan manusia. Ia terbang dan kabur menghindari kedatangan kami yang menggagalkan rencananya.
Lemari tua yang ada di sudut dapur itu pun kini dalam kondisi terbuka pintunya. Padahal suatu siang kami pernah mencoba membukanya, keras sekali dan tak bisa dibuka. Anehnya si mbak kunti mudah saja membuka lemari tersebut.
Dari lemari itu jatuh lah 3 benda, tergeletak di lantai dapur. Yang gw ingat hanya dua benda, satu benda lagi aku lupa.
Dua benda yang ku ingat itu adalah gulungan kain kafan tua yang dipenuhi bercak darah kering, serta gulungan kain batik, yang biasa dipakai di kampungku sebagai penutup jenazah.
Saat kami melihat benda tersebut, si mba kunti menangis di pohon jambu di belakang rumah bu Lia. Sepertinya ia nongkrong disitu, mungkin sambil mengawasi kami.
Taufik lalu membuka bajunya, dan berlutut, seperti sedang membaca doa. Tak lama kemudian, ia memegang benda yang keluar dari lemari tersebut. Secara ajaib, suara mbak kunti malah berpindah ke bengkel mobil tua yang berjarak 30 meter dari pohon mangga sebelumnya.
Suara mbak kunti mulai agak berteriak sejak ia berpindah. Ia seperti tak rela dan agak marah saat si Taufik menyentuh barang mistis tersebut.
Barang itu kemudian di letakkan kembali oleh Taufik ke lemari. Ia sempat mengajak gw mengejar si mbak kunti, tapi kemudian ia berubah pikiran, meski gw tak masalah.
Katanya sudah terlalu malam, lebih baik kami pergi tidur saja.
Esoknya, kami menceritakan ke bu Lia soal tersebut. Ia terdiam, namun menganggap cerita kami tak masuk akal, katanya mungkin kami berhalusinasi. Gw tahu, ia menyembunyikan sesuatu, yang tak ingin kami tahu.
Di ujung cerita, menjelang gw tamat SMA, Taufik memutuskan jadi TKI ke Malaysia. Bu Lia pun kemudian pindah rumah, sekitar jarak 3 KM dari rumah tuanya tersebut.
Gw pun fokus menamatkan sekolah, kemudian kuliah ke ibukota provinsi, berjarak 6 jam perjalanan dari kampung. Sejak saat itu gw ga pernah ketemu lagi dengan bu Lia, meski gw tahu rumahnya.
Dan si Taufik kini sudah jadi warga negara Malaysia, menikah dengan orang sana, dan punya anak. Itu kabar terakhir yang gw dengar.
Lalu rumah tua horror itu bagaimana nasibnya ?
Sejak kepindahan bu Lia, rumah itu ia jual seharga 60 juta. Sangat murah sekali, padahal di pinggir jalan strategis.
Rumah itu kemudian dibeli oleh seorang pedagang sukses. Tak lama kemudian, pedagang itu pun meninggal, dengan penyakit yang tak jelas. Sebagian orang pintar mengatakan bahwa ia terkena santet, meninggal dengan bisul yang tak kunjung sembuh di bagian pinggulnya.
Itulah tipikal masyarakat desa, yang tak mau melihat ia terlalu sukses dengan jual beli nya.
Sejak saat itu penjualan nya kian menurun. Istrinya tak pintar berdagang, dan sering tidak membuka toko yang berasal dari rumah horror tersebut. Kini toko itu sepi, suram, dan auranya gelap.
Persis seperti yang gw lihat ketika gw masuk pertama kali kesana.